Masalah dalam industri tekstil asli Indonesia menjadi semakin akut
Industri tekstil Indonesia sedang berada dalam masalah besar dan pernyataan pailit oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex telah membunyikan lonceng tanda bahaya dan membutuhkan intervensi pemerintah segera untuk mendiagnosa dengan benar dan memberikan obat mujarab untuk menghidupkan kembali industri tekstil padat karya dan produk tekstil dalam negeri.Sritex telah lama menjadi ikon industri tekstil berkualitas tinggi di Indonesia, dan direktur eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan bahwa jika pabrik sebesar ini dapat runtuh, itu berarti ada sesuatu yang harus dibenahi. Perlu dilihat apa yang menyebabkan kejatuhan Sritex, apakah itu masalah manajemen internal atau masalah eksternal yang berkaitan dengan lingkungan bisnis industri tekstil. Terlepas dari itu semua, runtuhnya Sritex menjadi pesan serius bagi pemerintah untuk memperhatikan dan mendukung industri tekstil. Hal ini dikarenakan industri tekstil merupakan industri yang padat karya dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga dapat membantu pemerintah dalam menarik pertumbuhan ekonomi, yang akan distimulasi oleh penyerapan jumlah tenaga kerja dan pertumbuhan kinerja sektor manufaktur. Industri tekstil mendapat tekanan dari berbagai pihak, di dalam negeri industri ini sulit bersaing karena pasar domestik dibanjiri produk impor yang murah atau dengan harga yang bersaing. Banjirnya produk impor semakin menjadi-jadi setelah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024, tentang penerbitan perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 tentang Ketentuan dan Tata Niaga Impor, yang menyebabkan membanjirnya produk impor ke pasar Indonesia. Peraturan tersebut menghilangkan pertimbangan teknis (pertek) Kementerian Perindustrian terkait impor, dan pada akhirnya menjadi lebih mudah untuk mengimpor produk manufaktur, sementara industri tekstil merasa kesulitan untuk menjual produknya. Ketika pasar ekspor sedang lesu, pasar domestik, dengan populasi 280 juta jiwa, seharusnya dapat diandalkan.
Di sisi lain, pasar ekspor juga lesu karena perlambatan ekonomi global. Di saat yang sama, industri tekstil menghadapi kenaikan biaya produksi, seperti kenaikan harga energi dan upah buruh. Di saat pasar ekspor sedang lesu, pasar domestik dengan jumlah penduduk 280 juta jiwa seharusnya bisa diandalkan. Bagaimanapun juga, TPT menghasilkan produk yang memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yang menjadi perhatian utama mereka, sehingga pasar dalam negeri bisa terlindungi. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI) ini mengatakan bahwa terpuruknya industri TPT karena tidak adanya sinergi kebijakan antar kementerian terkait TPT, dan pemerintah sebenarnya memahami masalahnya, yaitu pasar dalam negeri dibanjiri barang impor. Namun sebenarnya ada kebijakan yang dapat mempermudah impor. Mereka berharap pemerintah baru akan memperkuat sinergi antar kementerian dan juga memperkuat pemberantasan penyelundupan impor ilegal. Industri tekstil memiliki peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, karena bersifat padat karya dan menyediakan lapangan kerja yang besar bagi masyarakat. Menjawab pertanyaan dari para jurnalis setelah pelantikannya di Jakarta, Menteri Perindustrian mengatakan bahwa pemerintah akan fokus untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, dan bahwa pemerintah menerima alokasi belanja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja adalah tanggung jawab semua departemen pemerintah, namun penciptaan lapangan kerja langsung terasa di sektor-sektor seperti manufaktur. Industri tekstil juga berada di bawah tekanan dari dampak produk peraturan yang diperkenalkan oleh kementerian lain, contohnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 tahun 2024, yang menurutnya merupakan pemicu penurunan industri manufaktur dan tekstil. Peraturan yang akan berlaku mulai 17 Mei 2024 ini menyebabkan penurunan industri tekstil. Pada awal Juli 2024, setidaknya 11.000 pekerja akan dirumahkan.
Sektor manufaktur juga mengalami kontraksi, sebagaimana tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis oleh Standard & Poor's Global, yang telah mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli. Indeks Juli-September masing-masing sebesar 49,3, 48,9, dan 49,2. Sektor tekstil juga mengalami tekanan akibat dampak dari produk peraturan yang dikeluarkan oleh kementerian lain. PMI diperkirakan akan mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut, dengan angka di bawah 50 mengindikasikan ekspansi, sedangkan di atas 50 mengindikasikan ekspansi. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi, sedangkan di atas 50 menunjukkan ekspansi. Sebelum Juli, PMI telah mengalami ekspansi selama 34 bulan berturut-turut. Terakhir kali Indonesia mengalami kontraksi pada Agustus 2021. PMI telah mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli. Untuk itu, ia telah mengusulkan kepada pemerintahan Prabowo untuk mengubah Permendag 8/2024, yang bertujuan untuk melindungi pasar dalam negeri dari serangan impor yang tidak terkendali. Diharapkan sektor manufaktur dalam negeri, termasuk tekstil, akan kembali pulih, berkembang, dan memberikan lebih banyak kesempatan kerja bagi masyarakat. Direktur Penilaian PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan bahwa menanggapi berita putusan pailitnya Sritex yang berkode saham SRIL ini, bursa langsung merespon untuk melindungi investor. Ia meminta SRIL untuk memberikan informasi kepada publik mengenai tindak lanjut dan rencana perusahaan atas putusan pailit tersebut, termasuk upaya SRIL untuk mempertahankan kelangsungan usaha. Dalam hal pengawasan emiten, BEI juga telah melakukan beberapa upaya untuk melindungi investor ritel, salah satunya dengan pengenaan simbol khusus dan penempatannya di Komite Pemantauan Khusus. Hal ini dapat dilakukan jika emiten memenuhi kriteria tertentu berdasarkan Peraturan IX BEI untuk pencatatan efek bersifat ekuitas di SRC dan diharapkan hal ini dapat memberikan kesadaran awal kepada investor akan kemungkinan adanya masalah pada perusahaan tercatat.
Menurut laporan keuangan PT Sri Rejeki Isman Tbk untuk kuartal kedua tahun 2024, kerugian konsolidasi perusahaan untuk tahun ini adalah sebesar US$25,73 juta, atau sekitar Rp401,94 miliar. Kerugian ini turun tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun 2023 yang mencapai US$78,03 juta atau sekitar Rp1,21 triliun. Kerugian tersebut terjadi karena pendapatan penjualan bersih lebih rendah dibandingkan dengan beban pokok penjualan. Pada kuartal II-2024, penjualan bersih mencapai US$131,72 atau sekitar Rp 2,05 triliun. Sementara itu, beban pokok penjualan mencapai US$150,24 juta atau sekitar Rp2,34 triliun, sehingga total kerugian perusahaan mencapai US$18,51 juta atau Rp289,15 miliar. Dari total penjualan tersebut, sebanyak 56,971 triliun rupiah berasal dari penjualan domestik, sedangkan sisanya merupakan penjualan ekspor yang mencapai 43,021 triliun rupiah. merupakan kontributor terbesar, yaitu sebesar 51,791 TP3T dari total penjualan, sisanya adalah penjualan kain jadi, garmen dan kain mentah. Namun secara keseluruhan, pendapatan penjualan bersih untuk kuartal kedua tahun 2024 mengalami kontraksi sebesar 26,701 TP3T dibandingkan periode yang sama di tahun 2023. Di sisi lain, beban pokok penjualan Sritex justru mengalami penurunan sebesar 24,211 TP3T dibandingkan periode yang sama di tahun 2023. Porsi penurunan beban pokok penjualan yang paling signifikan berasal dari pembelian bahan baku, namun jelas masih lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang dapat dibukukan. Direksi Sritex belum menjawab panggilan telepon atau pesan dari media hingga berita ini diturunkan.